Deskripsi
Lokasi: Jl. Jenderal Sudirman, 19 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil, Kota Palembang, Sumatera Selatan, 30113
Map: Klik Disini
HTM: Gratis
Buka Tutup: 24 Jam
Sebagai salah satu sentra Kebudayaan Melayu yang memiliki akar Islam yang kuat, bangunan masjid bukan hanya sebagai tempat untuk beribadah, tapi juga menjadi cermin dari budaya yang berkembang pada masa Pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu budaya Melayu yang berkembang lebih dahulu disusul akulturasi budaya Tionghoa dan Eropa.
Asimilasi atau perpaduan dari ketiga unsur kebudayaan itulah yang mewarnai gaya arsitektur Masjid Agung Palembang, sehingga tempat beribadah umat Islam terbesar di Sumatera Selatan ini menarik untuk dikunjungi.
Berkunjung ke Palembang serasa masih belum lengkap sebelum singgah ke Masjid Agung, karena tempat inilah yang menjadi saksi sejarah perkembangan Kota Palembang dari jaman Pemerintahan Kesultanan menuju Jaman Kolonial hingga ke Jaman Modern sekarang ini.
Potret dari setiap jaman tersebut tercermin dari serangkaian proses pembangunan dan renovasi masjid yang dilakukan di setiap jaman.
Sejarah Singkat
❤️
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Palembang ini merupakan masjid tertua di Palembang dan salah satu masjid tua yang ada di Indonesia, karena dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau pada masa pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam.
Proses pembangunan berlangsung cukup lama, karena sebagian material didatangkan dari luar negeri seperti dari Negeri China dan dari Eropa. Peletakan batu pertama dilakukan pada tahun 1738, sedang peresmiannya baru dilakukan sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 26 Mei 1748.
Saat itu bangunan yang diberi nama Masjid Sultan ini masih belum memiliki menara dengan ukuran 30 x 36 meter2 berbentuk bujur sangkar. Dan menjadi masjid terbesar di Nusantara dengan daya tampung mencapai 1.200 jema’ah.
Konsep bangunan masjid dirancang seorang arsitek dari Eropa yang memadukan unsur bangunan khas Nusantara yang dipengaruhi gaya arsitektur China dan Eropa.
Gaya arsitektur Nusantara dapat dilihat pada struktur bangunan utama yang memiliki bentuk undakan layaknya candi Hindu – Jawa dengan bagian puncak berbentuk limas yang berhiaskan ukiran bunga tropis serta jurai daun simbar.
Ukiran pada bagian puncak atau atap itulah yang mendapat pengaruh dari gaya arsitektur China karena menyerupai bangunan-bangunan kelenteng.
Sedang pengaruh Eropa dapat dilihat dari material kaca dan marmer yang diimpor dari Italia serta bentuk jendela masjid yang besar dan tinggi sehingga memberikan kesan yang kokoh.
Pembangunan menara dilakukan pada masa Pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin. Saat itu menara dibangun di sisi Barat dengan lokasi yang terpisah dari bangunan utama. Menara setinggi 20 meter berbentuk segi enam tersebut menyerupai menara kelenteng dengan bentuk atap yang melengkung di bagian ujung.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, pemugaran dilakukan secara berturut-turut sepanjang tahun 1819 – 1821 pasca terjadinya perang besar yang berlangsung selama 5 hari.
Pada tahun 1848, Pemerintah Hindia Belanda melakukan perluasan terhadap bangunan masjid dan mengganti gerbang utama dari semula bergaya tradisional menjadi Doric Style. Pada tahun 1879, giliran serambi masjid yang diperluas dengan menambahkan tiang beton berbentuk bulat.
Perluasan dan pemugaran termasuk penyempurnaan menara kembali dilakukan pada masa Pemerintahan Nata Agama Karta Manggala Mustofa Ibnu Raden Kamaluddin di tahun 1897. Saat itu nama masjid juga diganti dari Masjid Sultan menjadi Masjid Agung.
Pasca kemerdekaan, tepatnya ditahun 1966 – 1969, kawasan masjid diperlua sekaligus dibangun lantai dua sehingga daya tampungnya mencapai 7.750 jama’ah. Pada tahun 1970 dibangun menara baru setinggi 45 meter dengan tanpa menghilangkan menara asli yang bergaya China.
Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 2.000 dan diresmikan oleh Presiden Megawati pada 16 Juni 2003. Lewat pemugaran tersebut kapasitas pun semakin bertambah dengan daya tampung mencapai 9.000 jama’ah.
Megah dan Indah❤️
Meski telah berulangkali mengalami renovasi dan pemugaran, bentuk asli dari bangunan Masjid Agung Palembang sebagaimana saat pertama kali dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I masih dapat dilihat di beberapa bagian, sehingga nostalgia tempo dulu dapat dirasakan pada saat berada di lingkungan masjid atau disaat menjalankan ibadah.
Perpaduan antara budaya satu abad yang lalu dengan budaya modern saat ini memberikan daya tarik tersendiri, sehingga siapapun akan betah untuk berlama-lama di dalam lingkungan masjid.
Terlebih fasilitas yang tersedia di tempat beribadah umat Islam ini relatif lengkap, seperti area parkir yang luas, halaman yang dihiasi taman yang indah beserta bundaran kolam air mancur di depannya, tempat penitipan sepatu dan sandal, tempat wudlu dan kamar mandi, kantor sekretariat, aula serba guna, fasilitas hotspot internet gratis serta perpustakaan.
Perpustakaan di Masjid Agung Palembang berada di lantai III yang dapat dicapai dengan melalui anak tangga dari serambi kiri jika masuk dari gerbang bundaran air mancur.
Perpustakaan ini berdiri pada tahun 1975 dan memiliki berbagai koleksi buku-buku Islam berusia tua, mulai dari Kitab Kuning, Kitab-kitab yang membahas tentang Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadist serta Sejarah Islam. Perpustakaan ini dibuka untuk umum dari jam 09.00 – 16.00.
Selain belajar tentang ilmu-ilmu agama melalui kitab-kitab yang ada di perpustakaan, saat berada di lantai III pengunjung juga dapat melihat indahnya landskap Kota Palembang dari atas ketinggian.
Jika masih belum puas melihat dari lantai III, pengunjung dapat menuju ke puncak menara dengan terlebih dahulu meminta ijin kepada takmir atau pengurus masjid.
Sebagaimana masjid yang lain, berbagai aktifitas mewarnai Masjid Agung Palembang, mulai dari kegiatan harian, mingguan, bulanan hingga tahunan.
Kajian-kajian Islam juga menjadi agenda rutin di tempat ini, sehingga tidak heran jika melahirkan sejumlah ulama besar, seperti Syekh Abdul Shamad Al-Palembani, Syihabuddin bin Abdullah dan Kemas Fachruddin.
Sepanjang tahun 2010 – 2012, Masjid Agung Palembang digunakan sebagai tempat untuk memamerkan Al-Qur’an Al-Akbar yang merupakan Al-Qur’an terbesar di dunia yang penulisannya diprakarsai Sofwatillah Mohzaib.
Tujuan ditempatkannya Al-Qur’an yang diukir dari kulit pohon trembesi dengan dimensi 177 x 144 x 2,5 cm tersebut di Masjid Agung adalah untuk dikoreksi seluruh umat sebelum diresmikan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono bersama delegasi OKI (Organisasi Konferensi Islam) pada 30 Januari 2012.
Pada setiap hari Jumat setelah dilaksanakannya Sholat Jumat, halaman Masjid Agung Palembang diramaikan oleh para pedagang yang menjual berbagai jenis dagangan.
Pasar Jumat tersebut tidak hanya diserbu oleh mereka yang baru turun dari masjid, tapi juga oleh masyarakat, karena barang-barang yang dijual tidak hanya sebatas buku-buku agama dan perlengkapan beribadah, tapi juga barang-barang kebutuhan sehari-hari serta aneka kuliner.
Berbagai jenis makanan dan minuman, bahkan kuliner khas Kota Palembang sebenarnya dapat dijumpai di Pasar Jumat ini.
Namun jika dirasa masih belum cukup, atau jika berkunjung pada hari-hari yang lain, apabila ingin menikmati kuliner khas Palembang dapat menuju ke kawasan Pasar 26 Ilir yang jaraknya relatif dekat.
Pahlevi Anas (pemilik terverifikasi) –
Saya sudah siapkan spanduk ‘Pemenang Giveaway’, tinggal nunggu nama saya yang diumumkan saja.
Asad Faiz Qadir (pemilik terverifikasi) –
Saya bukan pesulap, tapi kalau menang giveaway ini, saya janji akan menghilang dari daftar peserta yang belum menang!
Zayn Bahran (pemilik terverifikasi) –
Saya sudah siapkan spanduk ‘Pemenang Giveaway’, tinggal nunggu nama saya yang diumumkan saja.